Hukuman Berat Menanti Pimpinan Ponpes di Serang Banten Atas Kasus Asusila Santriwati

Ilustrasi Korban Asusila (RMOL)
Ilustrasi Korban Asusila (RMOL)

Kholid (47), figur yang seharusnya menjadi panutan sebagai pemimpin sebuah pondok pesantren di Kabupaten Serang, kini berdiri di persimpangan hukuman berat. 


Jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Serang, Rabu (7/5/2025), menuntutnya dengan hukuman 19 tahun penjara. 

Vonis ini didasarkan pada keyakinan jaksa bahwa Kholid terbukti melakukan serangkaian tindak asusila terhadap tiga santriwati yang berada di bawah tanggung jawabnya.

Keyakinan JPU bertumpu pada Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. 

Pasal ini secara spesifik mengatur mengenai pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang memiliki relasi kuasa atau memanfaatkan kedudukan tertentu, seperti halnya seorang pendidik.

Selepas pembacaan tuntutan, JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang, Selamet, menjelaskan secara gamblang alasan di balik tuntutan yang melampaui ancaman maksimal dalam undang-undang tersebut.

"Hukumannya 19 tahun penjara. Padahal, ancaman maksimal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak itu 15 tahun," ungkap Selamet, menggarisbawahi adanya pemberatan hukuman dalam kasus ini.

Status Kholid sebagai tenaga pendidik di lingkungan pesantren menjadi faktor kunci dalam pertimbangan JPU untuk menjatuhkan tuntutan yang lebih berat. 

"Karena dia pengajar, dikenai pemberatan hukuman sepertiga," tegas Selamet.

Selain tuntutan pidana berupa kurungan badan, Kholid juga dihadapkan pada tuntutan hukuman denda sebesar Rp100 juta. 

Jika denda tersebut tidak dibayarkan, ia akan menjalani hukuman subsider berupa kurungan selama tiga bulan. 

Kombinasi hukuman ini menunjukkan keseriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus kejahatan seksual terhadap anak, terutama yang dilakukan oleh figur publik di lingkungan pendidikan.

Dalam menguraikan pertimbangannya, JPU menyoroti dampak mendalam dari perbuatan terdakwa terhadap masa depan para korban. 

Tindakan asusila ini tidak hanya melukai fisik dan psikis para santriwati, tetapi juga mencoreng citra institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman dan terpercaya bagi anak-anak. 

Kendati demikian, JPU juga mencatat adanya faktor yang meringankan, yaitu pengakuan Kholid atas perbuatannya dan rekam jejaknya yang belum pernah tersentuh hukum sebelumnya.

Terungkapnya kasus ini bermula dari keresahan warga sekitar pondok pesantren di Kecamatan Cikande, Serang. 

Informasi mengenai dugaan tindakan asusila yang dilakukan Kholid akhirnya memicu reaksi keras dari masyarakat, yang berujung pada perusakan fisik terhadap bangunan pesantren.

Momentum penangkapan Kholid terjadi pada Minggu, 1 Januari 2024. Aparat Polres Serang berhasil mengamankan Kholid yang mencoba menghindari amukan massa dengan bersembunyi di langit-langit rumah. 

Penangkapan ini menjadi titik terang dalam proses hukum yang kemudian bergulir hingga tahap pembacaan tuntutan.

Berdasarkan serangkaian penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian, terungkap dugaan kuat bahwa Kholid telah melakukan pencabulan terhadap tiga santriwatinya secara berulang dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni sejak tahun 2021 hingga 2023. 

Lebih jauh, terungkap fakta yang sangat memprihatinkan, di mana salah satu korban bahkan mengalami kehamilan dan kemudian melakukan aborsi atas perintah Kholid sebagai upaya untuk menutupi perbuatan bejat tersebut dari pengetahuan orang tua korban. (Eks)