Provinsi Banten mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan sebesar 5,19 persen year-on-year (YoY) pada triwulan pertama tahun 2025. Namun, euforia atas capaian ini sedikit teredam oleh meningkatnya tekanan inflasi yang mencapai 1,59 persen pada bulan April 2025.
- May Day di Serang: Kebersamaan di Tengah Badai Ekonomi Global
- Gubernur Banten Serap Aspirasi Pelaku Usaha Agung Intiland
- Luxima Bizhub Cluster Gudang Terbaru di PIK 2
Baca Juga
Kondisi ini menghadirkan tantangan signifikan bagi Pemerintah Provinsi Banten untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga, yang berimplikasi langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Direktur Eksekutif Visi Nusantara, Subandi Musbah, dalam analisisnya menekankan bahwa meskipun angka pertumbuhan ekonomi terlihat menjanjikan, fondasi ekonomi Banten masih rentan terhadap gejolak inflasi.
Ia mengingatkan bahwa inflasi yang tidak terkendali dapat menggerogoti daya beli masyarakat, menghambat konsumsi, dan pada akhirnya mengancam keberlanjutan pertumbuhan itu sendiri.
“Pertumbuhan ekonomi di Banten saat ini terutama didorong oleh gelombang investasi sektor swasta, khususnya dalam industri kimia dasar dan baja. Namun, Gubernur Banten, tidak boleh terlena dengan capaian ini. Langkah-langkah proaktif dan terukur untuk mengelola pertumbuhan ekonomi di tengah tantangan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global menjadi krusial,” ujar Subandi pada Jumat (16/5/2025).
Ia menambahkan bahwa kemampuan [nama tokoh, diasumsikan Andra Soni] dalam memetakan strategi pertumbuhan ekonomi yang beriringan dengan pengendalian inflasi sangat bergantung pada kemampuannya mengorkestrasi kinerja seluruh jajaran birokrasi di bawahnya.
Ironisnya, di tengah urgensi penanganan masalah ekonomi ini, Pemerintah Provinsi Banten justru dihadapkan pada persoalan serius berupa kekosongan jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) dan 14 Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Subandi menyoroti bahwa kondisi ini dapat menghambat pengambilan keputusan strategis dan eksekusi kebijakan yang efektif.
“Sudah tiga bulan kepemimpinan Andra-Dimyati namun kekosongan jabatan-jabatan strategis ini belum juga teratasi. Hal ini harus segera diakhiri agar kebijakan-kebijakan fundamental yang dibutuhkan dapat dieksekusi dengan baik. Jika posisi-posisi kunci masih diisi oleh Pelaksana Tugas (Plt), kewenangan mereka terbatas dan kontribusi yang optimal sulit diharapkan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Subandi mengkhawatirkan kerentanan pertumbuhan ekonomi Banten akibat lambannya respons pemerintah provinsi dalam melindungi sektor-sektor industri utama, terutama industri tekstil yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah.
Padahal, Banten telah ditetapkan sebagai Wilayah Pengembangan Industri dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, dengan visi menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2035.
“Ketidakpastian ekonomi global yang terus berlanjut dan potensi pelemahan daya beli masyarakat menjadi ancaman nyata bagi ketahanan industri di Banten. Bahkan, risiko gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, [nama tokoh, diasumsikan Andra Soni] harus segera turun tangan untuk meminimalisir potensi turbulensi ekonomi ini. Jangan sampai pemerintah provinsi terkesan ‘berpangku tangan’ dan baru bertindak setelah masalah membesar,” tandasnya.
Subandi juga menyoroti belum optimalnya pemanfaatan realisasi belanja daerah sebagai instrumen pengendalian inflasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Meskipun data Kementerian Dalam Negeri per 7 Mei 2025 menunjukkan bahwa Banten termasuk dalam sepuluh provinsi dengan realisasi belanja tertinggi, dengan serapan terbesar pada belanja operasi (Rp1,36 triliun atau 18,81 persen dari total pagu Rp7,28 triliun), belanja modal yang seharusnya dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat masih minim.
Selain itu, upaya peningkatan daya beli masyarakat sebagai motor penggerak sektor swasta juga terhambat oleh potensi praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa serta perizinan, seperti suap, gratifikasi, dan kickback. Praktik-praktik ini tidak hanya merugikan keuangan daerah tetapi juga mendistorsi persaingan usaha dan menghambat pemerataan manfaat ekonomi.
“Temuan-temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait potensi korupsi di daerah seharusnya bisa diantisipasi jika [nama tokoh, diasumsikan Andra Soni] segera melantik Sekda dan 14 Kepala OPD definitif. Pejabat pelaksana tugas cenderung sulit dimintai komitmen dan akuntabilitas penuh dalam mencegah praktik-praktik koruptif,” jelas Subandi.
Melihat kompleksitas tantangan yang dihadapi, Subandi mengutamakan keraguannya terhadap kemampuan Andra Soni untuk mengoptimalkan potensi pertumbuhan ekonomi Banten demi kesejahteraan rakyat jika struktur perangkat daerah tidak segera dibenahi.
Pemerintahan yang diisi oleh banyak pelaksana tugas dinilai rentan berjalan lamban, kurang inovatif, dan berpotensi mengalami maladministrasi akibat keterbatasan kewenangan para Plt.
“Saya ragu jika pertumbuhan ekonomi Banten bisa diwujudkan untuk kesejahteraan rakyat tanpa perbaikan struktur organisasi. Dibutuhkan komitmen kuat dari [nama tokoh, diasumsikan Andra Soni] agar visi Banten Maju, Adil, Merata, dan Bebas Korupsi tidak sekadar menjadi jargon politik yang hampa makna,” pungkasnya dengan nada pesimistis namun penuh harapan akan adanya perubahan.
Subandi kembali menekankan urgensi langkah cepat dan tepat dari pemerintah provinsi untuk menciptakan iklim investasi yang benar-benar kondusif, bukan hanya di atas kertas, serta menstabilkan inflasi melalui kebijakan yang terukur dan implementasi yang efektif.
Ia berharap, Gubernur Banten segera mengambil tindakan strategis yang berani demi kelanjutan pertumbuhan ekonomi yang memberikan dampak positif dan merata bagi seluruh masyarakat Banten.
“Kesuksesan Andra sebagai pemimpin daerah tidak hanya akan diukur dari sekadar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga dari kemampuannya menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan daya beli masyarakat secara berkelanjutan, serta menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok. Tantangan besar ini menuntut perhatian yang sangat serius dan tindakan nyata agar pertumbuhan ekonomi yang diraih benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat Banten, bukan hanya segelintir elite,” pungkasnya. (Eks)