PHI Sukses Ajak Dunia Rintis Aturan Teknologi AI

Delegasi PHI dalam Global Greens Congress di Korea Selatan/Ist
Delegasi PHI dalam Global Greens Congress di Korea Selatan/Ist

Keputusan global untuk mengatur teknologi artificial intelligence/AI (kecerdasan artifisial) dilahirkan di Korea Selatan 11 Juni lalu. Keputusan ini terjadi dalam Global Greens Congress atau Kongres Kaum Hijau Sedunia.


Kongres ini merupakan ajang Partai Hijau sedunia dan organisasi pendukung politik hijau sedunia berkumpul dan bersepakat untuk merespons perubahan-perubahan yang berdampak pada lingkungan dan kemanusiaan.

Aturan teknologi kecerdasan artifisial diinisiasi Partai Hijau Indonesia (PHI) bersama Partai Hijau Korea (GPK), bernomor R43, berjudul Resolusi Darurat untuk regulasi yang efektif pada teknologi kecerdasan artifisial demi demokrasi, Keberlanjutan dan Manfaat Sosial.

Setelah berhasil mendapat persetujuan dari peserta kongres yang melibatkan 84 negara dan 829 peserta, partai-partai hijau sedunia wajib memperjuangkan penerapannya di masing-masing negara dan kawasannya.

Salah satu delegasi PHI, Johnson Chandra, mengaku senang karena melalui melalui Global Greens Congress, tata kelola teknologi kecerdasan artifisial berhasil dirintis dalam skala internasional dan Indonesia bersama Korea Selatan merupakan mitra pengusul resolusinya.

Faktor kedua, Johnson senag karena terbukti tiga hari setelah lahirnya resolusi, Parlemen Eropa akhirnya berhasil menyepakati aturan mereka untuk pertama kalinya. Meskipun hanya urutan keempat dalam penguasaan kursi, Aliansi Partai Hijau Eropa mempunyai posisi penting dalam mekanisme voting di Parlemen Eropa.

"Ketiga, ini sekaligus merupakan aksi ekstraparlementer kami pada Pemerintah Indonesia yang nampak lunak kepada perusahaan teknologi kecerdasan artifisial raksasa seperti Google, Tiktok dan OpenAI (ChatGPT), serta sekaligus kritik pada kebijakan nasional,” jelas Johnson, Minggu (18/6).

Pria yang merupakan kunci dalam situs apakabar ini menjelaskan bahwa teknologi kecerdasan artifisial wajib diawasi. Menurutnya, tanpa kontrol yang demokratis, berkelanjutan dan memiliki manfaat sosial, umat manusia sangat rentan atas praktik penyalahgunaan data pribadi.

"Pengendalian informasi palsu, pembatasan pengetahuan, dan secara keseluruhan merupakan ancaman serius pada kemanusiaan,"jelasnya.

Bagi Johnny, hal itu bisa terjadi karena teknologi kecerdasan artifisial mampu melakukan pengawasan massal yang dapat melanggar hak privasi, membatasi hak sipil dan politik, serta memicu praktik rezim totaliter.

"Mass surveillance (pengawasan massal) berbeda dengan targeted surveillance (pengawasan yang ditargetkan) yang dianggap lebih lunak, membantu penanggulangan terorisme atau kerusuhan sosial, meski sering juga disalahgunakan dengan menyasar oposisi politik," ungkap Johnson.

Lebuh lanjut Johnson menjelaskan bahwa ancaman lainnya, kecerdasan artifisial mampu membuat sistem senjata otonom mematikan, senjata robotik dan robot pembunuh yang mampu menentukan dan menyerang sasarannya tanpa campur tangan manusia.

"Sistem senjata otonom ini terbagi menjadi dua, yakni: sistem pertahanan otomatis dan sistem serangan otonom. Masalah dari sistem ini antara lain adalah sulitnya melakukan pembedaan antara warga sipil dan tentara, serta menentukan siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan tertentu," pungkas Johnson.