Polemik Rekrutmen RSUD Labuan Mencuat: Peserta Lolos Kontrak Mendadak Diberhentikan

Ilustrasi pegawai Rumah Sakit (Net)
Ilustrasi pegawai Rumah Sakit (Net)

Proses rekrutmen pegawai di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labuan kiniMenuai sorotan tajam. Sejumlah peserta yang sebelumnya dinyatakan lulus seleksi, bahkan telah menandatangani kontrak kerja, tiba-tiba diberhentikan sepihak oleh panitia rekrutmen, memicu kekecewaan mendalam di kalangan calon tenaga kesehatan.


Curahan hati Dwi Iiz, seorang peserta asal Kabupaten Pandeglang, viral di platform TikTok. Dalam unggahannya, ia mengungkapkan keterkejutannya atas pemberhentian mendadak yang ia terima dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Alasan pemberhentian tersebut, menurut Dwi, adalah persoalan masa berlaku sertifikat yang dianggap kedaluwarsa.

Dwi merasa keberatan jika kesalahan administrasi dalam proses pemberkasan dilimpahkan kepada peserta. Ia berpendapat bahwa ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas seharusnya menjadi tanggung jawab mutlak panitia rekrutmen.

"Untuk lolos penerimaan RSUD Labuan ini tidak mudah. Pertama, kami harus mengunggah pemberkasan, kenapa di situ kami diloloskan? Seharusnya mereka dengan teliti memeriksa sertifikat itu berlaku atau tidak. Di persyaratan pun tidak diterangkan sertifikat dari tahun berapa ke tahun berapa," ujarnya dalam video yang diunggah Kamis (8/5/2025).

Lebih lanjut, Dwi menjelaskan bahwa persyaratan rekrutmen hanya mencantumkan kewajiban memiliki sertifikat Basic Trauma and Cardiac Life Support (BTCLS). 

Setelah dinyatakan lolos seleksi administrasi, ia mengikuti tes Computer Assisted Test (CAT) dan kembali dinyatakan lulus. Proses verifikasi berkas asli pun berjalan tanpa kendala.

"Lalu kami tanda tangan kontrak, ikut serta kegiatan di tanggal 2. Namun, kami diberhentikan secara mendadak melalui telepon saja, tanpa pengumuman resmi, tanpa surat dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD)," lanjutnya dengan nada kecewa. 

Ia menyayangkan cara pemberitahuan pemberhentian yang hanya melalui panggilan telepon pada pukul 6 pagi, menilai tindakan tersebut tidak profesional.

Meskipun dijanjikan mekanisme sanggahan, Dwi menilai pemberhentian melalui telepon sangat tidak etis. Ia mengaku telah menemui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Banten untuk meminta klarifikasi, namun hingga berita ini diturunkan, belum ada kejelasan yang diterima. 

"Mohon diperiksa panitianya, kami merasa dirugikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kami sudah resign dari pekerjaan sebelumnya, kami minta keadilan," tegasnya.

FMPD Soroti Kejanggalan Tambahan Nilai

Gelombang protes terhadap proses seleksi pegawai di RSUD Labuan dan Cilograng juga datang dari Forum Mahasiswa Peduli Daerah (FMPD). Mereka menilai proses rekrutmen ini sarat kejanggalan dan kurang transparan, terutama terkait pemberian tambahan nilai bagi peserta dengan domisili tertentu.

FMPD menyoroti dua surat resmi dari Kepala Pusat Pengembangan Sistem Seleksi dengan nomor 6428/B-KS.04.01/SD/C.VI/2025 tertanggal 28 April 2025 dan 6454/B-KS.04.01/SD/C.VI/2025 tertanggal 29 April 2025.

Dalam surat tersebut diatur bahwa peserta dari Kabupaten Pandeglang yang melamar ke RSUD Labuan, serta peserta dari Kabupaten Lebak yang mendaftar ke RSUD Cilograng, seharusnya mendapatkan tambahan nilai sebesar 150 poin atau 30 persen dalam hasil CAT.

Namun, FMPD menemukan indikasi bahwa sejumlah peserta yang tidak berasal dari wilayah yang ditentukan justru menerima tambahan poin tersebut. Hal ini dinilai bertentangan dengan petunjuk teknis (juknis) yang telah ditetapkan oleh panitia rekrutmen.

Koordinator FMPD, Yongki Ariyanto, mendesak panitia dan Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk segera mengevaluasi secara menyeluruh proses seleksi ini dan menindak tegas pihak-pihak yang terbukti melanggar aturan. "Panitia dan Dinkes Banten wajib mengikuti juknis. Jika tidak, kami siap melaporkan ke aparat penegak hukum," ujar Yongki dengan nada geram.

Yongki mengungkapkan temuan konkret, di mana seorang peserta dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) berawalan 3672, yang terdata berasal dari Kota Cilegon, justru mendapatkan tambahan 150 poin. Padahal, sesuai juknis, peserta dari luar Kabupaten Pandeglang dan Lebak hanya berhak atas tambahan 50 poin.

Kontroversi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa warga lokal yang seharusnya mendapatkan prioritas dalam rekrutmen justru tersisih akibat sistem seleksi yang tidak konsisten dan berpotensi mengandung praktik kecurangan.

Kebijakan tambahan nilai berdasarkan domisili sejatinya bertujuan untuk memberdayakan potensi daerah dan mendorong tenaga kesehatan lokal untuk kembali mengabdi di kampung halaman. Namun, implementasi yang tidak akurat ini justru memicu dugaan adanya manipulasi dan ketidakadilan dalam proses seleksi.

"Banyak pihak mempertanyakan mengapa peserta dengan domisili di luar ketentuan bisa mendapat keuntungan nilai maksimal," pungkas Yongki.

Pihak terkait di Pemprov Banten hingga saat ini belum memberikan keterangan resmi terkait polemik rekrutmen ini. (Eks)