Penanganan terhadap kasus dugaan korupsi sebaiknya menggunakan proses hukum koneksitas. Salah satunya seperti diterapkan KPK dan Puspom TNI dalam pengungkapan kasus dugaan korupsi di Basarnas.
- BPKD Kota Tangerang Rekonsiliasi Laporan Kepemilikan Aset Daerah
- Suara Lantang Gubernur Banten Andra Soni Ingatkan Kepala Daerah, Sebut Ini
- Hastag #Hastobiangkerok Menggema di Media Sosial
Baca Juga
Begitu dikatakan mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun menyikapi persoalan dugaan korupsi melibatkan Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Korsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto.
"Menyikapi persoalan Kabasarnas ini, saya cenderung bagaimana menempatkan negara hukum terhadap hukum positif, harus konsisten, yaitu tata cara apabila seorang TNI melakukan kejahatan di ranah umum atau publik, diatur dengan cara koneksitas," kata Gayus kepada wartawan, Senin (7/8).
Gayus menjelaskan aturan koneksitas dalam penanganan perkara yang melibatkan militer di ranah sipil itu telah diatur Pasal 198 UU 31/1997 tentang peradilan militer, juga di UU KPK di pasal 42.
"Hal inilah disebut hukum acara, di mana hukum formil yang mendukung hukum materiil, ini adalah hukum formil yang mengatur apabila seorang anggota TNI melakukan perbuatan hukum di wilayah manapun," jelasnya.
Adapun jika aturan koneksitas dipakai dalam pengusutan kasus dugaan korupsi Basarnas yang melibatkan dua anggota TNI itu, kata dia, maka Menkumham, Panglima TNI, KPK, dan Jaksa Agung akan berembuk untuk menentukan peradilannya.
"Mereka yang merumuskan, mau pakai peradilan apa? Lebih dominan perkara ini apa di militer, atau peradilan umum dan di mana. Semua diatur," tuturnya.
Sistem koneksitas ini, kata Gayus lagi, merupakan bentuk antisipasi, karena dikhawatirkan kasus Basarnas ini bersinggungan dengan kerahasiaan militer.
"Kenapa harus ada koneksitas? Ini (Henri) bintang 3, bintang tertinggi, karena dikhawatirkan ada kerahasiaan militer yang terkait, itu intinya," tandasnya.