Kewenangan Memilih Anggota BPK Terlalu Dimonopoli DPR

Denny Indrayana/Net
Denny Indrayana/Net

Pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terlalu dimonopoli oleh DPR RI. Sementara peran DPD dan Presiden hanya pelengkap saja.


Kurang lebih demikian analisa mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, dalam FGD Obor Muda bertema "Menyoal Kepatuhan Hukum dalam Proses Seleksi Calon Anggota BPK RI 2021", Minggu malam (19/9).

Ia menilai, monopolistiknya kewenangan DPR RI terjadi karena  UU BPK RI mengaturnya seperti itu.

"Dapat dibayangkan kewenangan DPD itu tidak ada daya ikat. Kata 'pertimbangan' itu sendiri artinya rekomendasi. Di mana rekomendasi itu bisa diikuti atau tidak. Tidak punya daya ikat,” jelas Denny dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Senin (20/9) dini hari.

Ia mengatakan, kewenangan presiden hanya meresmikan hasil seleksi DPR RI dan pertimbangan DPD. Dalam pandangan Denny, kewenangan presiden derajatnya di bawah pertimbangan DPD atau bahkan jauh lebih rendah lagi.

"Jadi, norma konstitusi memang tidak memberikan kewenangan terhadap presiden untuk terlibat dalam mempengaruhi hasil seleksi. Ini menjawab pertanyaan SBY di awal tadi,” sambungnya.

Denny menambahkan, kewenangan presiden terbatas hanya terkait proses administrasi, sebagai kepala negara menandatangani keputusan presiden untuk mengangkat atau memberhentikan anggota BPK.

"Peran pertimbangan DPD atau peran dan fungsi administratif presiden ini untuk meresmikan tentu saja tidak bisa berhadap-hadapan dengan kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR yang berhak memilih anggota BPK,” paparnya.

Monopoli kewenangan DPR RI dalam pemilihan anggot BPK, imbuh Denny, jelas termaktub dalam pasal-pasal  14 UU BPK.

"Sebenarnya Pasal 14 memberikan juga syarat agar DPR mengumumkan kepada publik untuk memberikan masukan. Tapi saya sudah jelaskan, tidak ada masukan publik berarti lagi-lagi kewenangan pemilihan anggota BPK memang relatif monopolistik oleh DPR,” demikian Denny Indrayana.