Data kesenjangan sosial antara milik Badan Pusat Statistik dengan yang terjadi di lapangan tidak sama. Pasalnya, para akademisi melihat dari jumlah pendapatan, sedangkan BPS dari pengeluaran.
- Coblos Ulang Pilkada Kabupaten Serang, Ratu Zakiyah Deklarasi Kemenangan: Real Count 76 Persen
- BPKD Kota Tangerang Rekonsiliasi Laporan Kepemilikan Aset Daerah
- Suara Lantang Gubernur Banten Andra Soni Ingatkan Kepala Daerah, Sebut Ini
Baca Juga
Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini mengurai adanya ketimpangan data BPS dengan para periset atau akademisi di lapangan. Dalam temuannya, di bidang perbankan, adanya distribusi kepemilikan aset, baik itu tanah maupun deposito.
Maka ditemukan data kesenjangan yang sangat tinggi, hingga 0,7 persen. Atas dasar itu, Didik melihat data yang diurai BPS tidak memiliki makna sama sekali.
“Itu sebenarnya tidak punya makna banyak, ya itu main-mainan penelitian saja, untuk mengukur satu kebijakan yang secara politik dan ekonomi perlu diselesaikan, itu tidak bisa,” kata Didik dalam acara diskusi virtual bertemakan “Kesenjangan Kaya-Miskin Semakin Melebar" Evaluasi Kebijakan dan Pekerjaan Rumah Bagi Capres. 2024, Minggu (23/7).
Menurutnya, akurasi data di BPS perlu dipertanyakan lantaran memiliki ketimpangan yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, Didik menyarankan agar masyarakat tidak mengacu pada data BPS.
“Tetapi tetap selalu dipakai data akademik sehingga saya mau menganjurkan ketimpangan giniratio yang dibikin BPS itu enggak perlu kalau perlu dibuang saja,” ujarnya.
“Secara politik ekonomi untuk kebijakan itu dibuang. Sudah saatnya data yang sudah setengah abad itu perlu dibuang,” tutupnya.