Menuju Dunia Purba

Foto ilustrasi/RMOLJatim
Foto ilustrasi/RMOLJatim

DIA sudah di sana. Jauh dari kami. Jauh dari keramaian dan hingar bingar. Entah sekarang sedang apa. 

Hanya bisa berangan-angan. Mereka-reka. Apakah dia bahagia? Ah, angan-angan kadang mudah dirasuki setan. 

Pesan terakhirnya menegaskan bahwa dia akan meninggalkan urusan keduniawian.

Simpel pesannya tapi cukup bikin bergidik. 

Begini: televisi, gadget, AC, kipas angin, kasur empuk said i finally rest.

Barang-barang itu seperti hidup dan berbicara bahwa semua kesenangan hidup telah berhenti. Beristirahat. End of game. 

Ketika semua sedang ketagihan, dia memutuskan berhenti. Memilih dunianya sendiri. Dunia di seberang sana. Dunia tanpa keberlimpahan. Dunia penuh kesedehanaan. 

Dunia kesahajaan.

Orang menyebut dunia kecil. Dunia kolot. Dunia konvensional. Dunia purba. Dunia yang sudah ketinggalan jaman. 

Padahal yang namanya kolot tidak ada hubungannya dengan perubahan jaman. Perubahan jaman itulah yang mengubah cara berpikir manusianya. 

Sebaliknya, bagi dia itu adalah dunia baru. Meski purba dan kolot, tapi memiliki jaringan luas. Luasnya sejagat raya. Jaringannya mampu menerobos bumi ketujuh hingga langit ketujuh. 

Menuju kebahagiaan abadi. 

Mungkin kebahagiaan itu tidak sekarang. Yah, mungkin nanti.  Ketika dia bisa merasakan kedaulatan atas kehambaannya yang tawadhu. 

Atau jangan-jangan dia kini sudah bahagia manakala orang berangan-angan yang tidak-tidak padanya? Wallahu'alam.

Ya, karena ketawadhuannya, dia pun bersimpuh di hadapan Sang Kekasih. 

Luruh atas kebesaranNya yang punya hak menghidupkan dan mencabut nyawa setiap makhluk. 

Pun, seluruh alam semesta bersujud dan bertasbih kepadaNya.  

Di saat itulah Sang Kekasih tajalli pada alam semesta, pada makhlukNya, pada manusia, pada binatang, pada tumbuhan, pada benda-benda mati, pada langit, pada bumi, pada gunung-gunung. Sebagaimana tajalli Sang Kekasih pada bukit Sinai atau puncak Sin. 

Bukit yang tiada memiliki kesombongan, tanpa mengagung-agungkan dirinya. Tetapi, dialah yang namanya diagung-agungkan. Dialah awal kejadian, yang mula-mula diciptakan adalah nur nabimu. 

Yang ada kemudian hanyalah hati dan pikiran fana, lalu terasa kemanisan dengan keindahan tiada tara. Rasa yang tiada berasa.

Keyakinan sebesar itu membuat keragu-raguan sirna. Kecemasan hilang. Ketakutan pupus.

Sekarang, cukup sederhana yang harus dia jalani. Tetap istiqomah sebagai santri. Tentu dengan kebesaran hati dan keikhlasan.

Sejak pertama kali melepas dia, kami sudah sadar bahwa ini saatnya melepas takdir mereka. Biarlah Allah yang mengurus takdir mereka. 

Akhir kata, doa kami buat anak-anakku: Ya Allah, penuhilah hati anak-anak kami dengan cahaya dan hikmah, dan jadikan mereka hamba-hamba-Mu yang pantas menerima nikmat, dan perbaikilah diri mereka dan perbaiki pula umat ini melalui mereka.

Penulis adalah wartawan Kantor Berita RMOLJatim