Pilkada Masih Dihiasi Isu Politik Uang, Lembaga Peradilan Khusus Harus Segera Dibentuk

RMOLBengkulu. Pemilu di Indonesia, khususnya perhelatan Pemilihan Kepala Daerah, masih saja dihiasi isu politik uang, dinasti politik, hingga menggerakan ASN terhadap calon kepala daerah tertentu.


RMOLBengkulu. Pemilu di Indonesia, khususnya perhelatan Pemilihan Kepala Daerah, masih saja dihiasi isu politik uang, dinasti politik, hingga menggerakan ASN terhadap calon kepala daerah tertentu.

Salah satu faktor yang membuat politik uang masih marak adalah karena Indonesia belum memiliki lembaga peradilan khusus pemilu atau pilkada.

"Selama ini saya lihat proses itu hanya dilakukan di Gakkumdu dan jumlah yang vonis pidana hanya dihitung dengan jari,” kata Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S), Jerry Massie, Sabtu (4/7).


Untuk itu, ditegaskan Jerry, perlu adanya lembaga peradilan khusus pemilu. Atau langsung ditangani Bawaslu sekaligus lembaga pengawasan.

"Di militer ada Mahmil, di ASN ada SatPol PP, jadi di kepemiluan harusnya ada (lembaga peradilan khusus). Nanti pemberi uang barang dan jasa bisa dijerat Undang-undang. Apakah UU No 7 Tahun 2017 atau seperti apa,” bebernya.

Jerry pun mencontohkan 7 kasus politik uang jelang Pemilu seperti dan Rp 1 miliar di mobil hingga Rp 500 juta di lobi hotel yang sudah tak terdengar lagi.

Tak hanya itu, hasil survei sejumlah lembaga pun menunjukkan politik uang masih saja marak di negeri ini. Seperti survei dari satu lembaga pada 2014 silam yang menyebut 34 persen pemilih pernah ditawari suap.

Kemudian, sambung Jerry, survei dari LIPI pada 2019 juga menyatakan 40 persen responden menerima uang tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Kemudian 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih.


Begitu pula hasil survei SPD, sekitar 60 persen pemilih ketika ditawari politik uang dari kandidat beserta perangkat turunannya mengaku akan menerima.

Bahkan, imbuh Jerry, ada 7.132 kasus yang ditangani Bawaslu pada Pemilu 2019 lalu. Ada 343 kasus pelanggaran pidana, 5.167 kasus pelanggaran administratif, 121 kasus pelanggaran kode etik, dan 696 kasus pelanggaran hukum lainnya.
Jadi, menurut Jerry, untuk memutus rantai politik uang ini harus ada polisi kepemiluan.

"Kalau tak ada lembaga khusus peradilan Pemilu, maka praktik politik uang dan mahar politik bahkan transaksional masih tumbuh subur di negeri ini. Sementara kalau ada polisi pemilu maka semua kasus bisa ditangani dan bisa dipidana," demikian Jerry. dilansir RMOL.ID. [ogi]