Dugaan transaksi jual beli senjata produksi tiga BUMN Indonesia yang dipakai Junta Militer Myanmar, harus segera dijelaskan pemerintah.
- Hastag #Hastobiangkerok Menggema di Media Sosial
- Andra Soni Fokus Rekonsiliasi Jelang Pelantikan Gubernur Banten
- Partai Gerindra Sentil PDIP Soal PPN 12 Persen: Lempar Batu Sembunyi Tangan
Baca Juga
Begitu dikatakan Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani, dalam diskusi publik bertajuk "Junta Myanmar, Pelanggaran HAM dan Problematika Suplai Senjata dari Indonesia" di Cafe Sadjoe, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (9/10).
Belakangan, memang ramai dibahas adanya laporan tiga BUMN, meliputi PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia, yang disebut menyuplai senjata untuk Junta Militer Myanmar.
Laporan ini disampaikan oleh para penggiat HAM melalui kuasa hukumnya, Feri Amsari, kepada Komnas HAM pada awal pekan ini.
Menanggapi laporan itu, kata Julius Ibrani, pemerintah Indonesia harus segera menjelaskan kepada publik.
"(Transaksi) ini perlu dijawab oleh pemerintah," kata Julius.
Seharusnya, kata dia, pemerintah bisa paham bagaimana situasi pelanggaran HAM. Sehingga, bisa mempertimbangkan ketika akan memasarkan produk, terutama soal senjata.
"Pertanggungjawaban pelanggaran HAM adalah berada pada negara. Si penjual harus menanyakan penggunaan senjata untuk apa," katanya.
"Apakah pemerintah menanyakan penggunaan senjata yang dibeli oleh Myanmar," imbuhnya terheran.
Ditambahkan Shiskha Prabawaningtyas, akademisi universitas Paramadina, laporan jual beli senjata kepada Myanmar itu menjadi ironi.
Kata dia, Indonesia yang seharusnya bisa membela penegakan HAM di Myanmar dalam posisinya sebagai Keketuaan ASEAN, justru belakangan dilaporkan mengirimkan senjata untuk Junta Militer.
"Indonesia sudah kehilangan momentum untuk mendamaikan Myanmar, karena Indonesia sudah tidak lagi Ketua ASEAN," pungkasnya.