Parah! Dokter Dianiaya Usai Ungkap Markup Harga Alat Rapid Antigen

Sidang kedua perkara penganiayaan yang dilalukan Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Donny Nauphar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon/Net
Sidang kedua perkara penganiayaan yang dilalukan Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Donny Nauphar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon/Net

Kasus penganiayaan yang dilakukan Kepala Lab Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon terhadap dr. Herry Nurhendriyana diduga mendapatkan intervensi dari rektorat.


Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Kajian Politik, Adib Miftahul meminta rektorat menyerahkan kasus penganiayaan yang menimpa Tenaga Medis Klinik Cakrabuana dan Dosen FK UGJ itu kepada penegak hukum.

“Biarkan proses hukum berjalan, rektorat tidak boleh ikut campur,” kata Adib Miftahul kepada wartawan, Kamis (1/7).

Adib menerangkan, dugaan intervensi pihak universitas terlihat saat mengeliminasi kewenangan dan tanggung jawab korban sebagai dosen dan pelaksana harian Klinik Cakrabuana, (klinik tersebut di bawah naungan FK UGJ) saat menempuh jalur hukum.

Bahkan, belakangan terungkap, pihak rektorat menghubungi Bupati Cirebon H Imron agar turut membantu korban sebagai penjamin supaya tak ditahan di Rumah Tahanan alias Rutan.

“Dari sini saja kita bertanya-tanya, kenapa yang justru dibela pelaku, ini ada apa?” tanya Adib, dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL.

Sementara itu, korban dr. Herry Nurhendriyana menuturkan, ketika membawa kasus penganiayaannya ke jalur hukum mendapat tekanan mulai dari Ketua Yayasan UGJ hingga rektorat, dengan berbagai ancaman ia diminta untuk mencabut laporan polisi.

“Saya diberitahu oleh beberapa karyawan Fakultas Kedokteran bahwa jadwal mengajar saya telah diganti oleh dosen lain, serta jadwal skill lab dan status pembimbing skripsi mahasiswa saya di cabut dan dialihkan kepada dosen lain tanpa alasan yang jelas oleh dekan,” ungkap Herry.

Adapun kasus ini bermula dari kecurigaan Herry setelah dirinya mengungkap adanya kejanggalan pada administrasi klinik dan apotek Cakrabuana. Tanda tangannya di scan tanpa izin untuk keperluan administrasi dan kwitansi Klinik dan Apotek Cakrabuana.

Tidak hanya itu, Herry mendapatkan informasi dari karyawan salah satu apotek Cakrabuana bahwa telah ada pembelian alat rapid test tanpa sepengetahuanya. Pembelian alat tersebut dibeli klinik dari pelaku Donny dengan harga lebih tinggi dari harga pasaran pada umumnya.

"Saudara Donny menjual rapid antigen kepada klinik dan apotek Cakrabuana tanpa sepengetahuan saya dengan harga yaitu sebesar Rp2.900.000 per buah, dimana harga tersebut lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh agen lain yaitu sebesar Rp1.700.000," beber Herry.

Melihat kejanggalan itu, Herry kemudian memutuskan agar klinik dan apotek tidak lagi membeli peralatan rapid antigen kepada Donny.

"Saya merasakan setiap berbincang dengan saya, Donny menunjukan sikap tidak suka, dengan raut wajahnya," pungkas Herry.

Akibat penganiayaan ini, Herry membuat laporan kepolisian dan sudah diproses hingga pelaku Donny mendekam di Rutan Lapas Kota Cirebon. Namun, saat persidangan di Pengadilan Negeri Kota Cirebon Hakim Ketua Ahmad Rifai memutuskan pelaku menjadi tahanan kota setelah adanya jaminan dari Walikota Cirebon H Nashrudin Azis SH dan Bupati Cirebon H Imron Rosyadi.