Begini Respon DPR dan Bupati Bengkulu Utara Terhadap Gugatan Pemkab Lebong Soal Batas Wilayah

Rahmat Hidayat selaku Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Bengkulu Utara saat mengikuti proses persidangan/Ist
Rahmat Hidayat selaku Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Bengkulu Utara saat mengikuti proses persidangan/Ist

Sidang kelima uji materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 4 Tahun 1956, Undang-Undang Darurat Nomor 5 Tahun 1956, dan Undang-Undang Darurat Nomor 6 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Termasuk Kotapraja, dalam Lingkungan Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, sebagai Undang-Undang, kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (10/10) kemarin.


Permohonan perkara dengan Nomor 71/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Bupati Lebong Kopli Ansori dan Ketua DPRD Kabupaten Lebong Carles Ronsen yang mengatasnamakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong. Agenda sidang yaitu mendengarkan keterangan DPR dan Pihak Terkait Bupati Bengkulu Utara dan Pihak Terkait ATR/BPN Provinsi Bengkulu.

Sidang perkara tersebut dilaksanakan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.

Dalam persidangan, DPR RI yang diwakili oleh Taufik Basari menyampaikan, pemberlakuan pasal-pasal dalam UU Nomor 28 Tahun 1959 pada prinsipnya telah sejalan dengan keinginan rakyat pada masa itu, yakni membentuk secara resmi kabupaten-kabupaten yang ada menjadi kabupaten otonom berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1948.

“Di samping itu harus pula diperhatikan faktor-faktor sosial ekonomi serta kemungkinan-kemungkinan pertumbuhannya demikian pula faktor lainnya yang mempengaruhi lancar jalannya pemerintahan serta menjamin langsung hidupnya kabupaten-kabupaten yang akan dibentuk itu hal mana tidak saja memerlukan pertimbangan-pertimbangan gubernur Sumatera Selatan tetapi juga suara-suara rakyat daerah yang bersangkutan yang disalurkan dalam pendirian partai politik, organisasi-organisasi masyarakat lainnya, pemimpin rakyat terkemuka dan wakil resmi rakyat yang sudah ada di daerah bersangkutan,” terang Taufik dalam persidangan dikutip halaman Resmi MK RI.

Batas Wilayah

Taufik Basari selanjutnya menyampaikan keterangan terkait dengan batas wilayah yang dipermasalahkan oleh Pemohon, yakni ketentuan Pasal 1 UU a quo. 

Ketentuan tersebut yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon dengan terang mengatur Bengkulu Utara atas nama daerah tingkat II Bengkulu Utara dengan batas-batas sebagaimana dimaksud dalam ketetapan Gubernur Militer Daerah Militer istimewa Sumatera Selatan tertanggal 2 februari 1950 Nomor GB/30/1950 terkecuali wilayah Kota Praja Bengkulu.

“Bahwa sesungguhnya pengaturan yang ada dalam UU a quo adalah pengaturan sebelum adanya amandemen UUD 1945. Di samping itu, melihat uraian yang ada dalam penjelasan bersama UU Darurat Nomor 4,5 dan 6 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom kabupaten-kabupaten kota besar dan kota kecil dalam lingkungan daerah Sumatera Selatan maka diketahui pengaturan tersebut telah memberikan penjelasan rujukan mengenai pengaturan yang terkait batasan Bengkulu Utara dan telah memberikan pengaturan yang jelas bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan di kabupaten Bengkulu Utara sebagaimana diatur dalam pengaturan UU Darurat tersebut,” jelasnya.

Dalam perkembangannya, untuk lebih mengintensifkan dan melancarkan jalannya pemerintahan, Provinsi Sumatera Selatan mengalami pemekaran dengan terbentuknya Provinsi Bengkulu melalui UU Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu. 

Wilayahnya meliputi Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Rejang Lebong serta Kotamadya Bengkulu yang dipisahkan dari Provinsi Sumatera Selatan dimaksud dalam UU Nomor 25 Tahun 1959.

Aman dan Kondusif

Sementara itu, Bupati Bengkulu Utara yang diwakili oleh Rahmat Hidayat selaku Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Bengkulu Utara dalam keterangannya menyampaikan, dalil Pemohon mengenai adanya penegasan batas antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong mengakibatkan Masyarakat Hukum Adat Rejang menjadi bagian dari Kabupaten Bengkulu Utara tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat dalam menentukan sendiri bagaimana mereka melestarikan, membina, dan mengembangkan adat istiadat dan budayanya sendiri. 

Menurut Bupati Bengkulu Utara, hal tersebut tidak beralasan menurut hukum, oleh karena penegasan batas antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong bukan untuk membatasi masyarakat adat dalam melestarikan dan mengembangkan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional, justru untuk mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kesempatan untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi daerah. 

Hal ini sejalan dengan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Suku Rejang merupakan salah satu suku asli terbesar di Provinsi Bengkulu yang tersebar di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang, dan Kabupaten Lebong.

Semuanya sama-sama memiliki ciri khas baik bahasa dan adat istiadat lainnya yang tidak jauh berbeda, salah satunya tarian adat "Kejai" sehingga tidak beralasan menurut hukum apabila Pemohon menyatakan penegasan batas antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong mempengaruhi pelestarian serta perkembangan adat istiadat dan budaya masyarakat. 

“Karena batas administrasi wilayah tidak akan membatasi hubungan emosional, sosial dan budaya masyarakat,” kata Rahmat.

Menurutnya, hingga saat ini situasi dan kondisi di wilayah perbatasan yang menjadi sengketa tapal batas antara Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Lebong tetap aman dan kondusif. “Tidak terjadi gejolak atau keluhan apa pun dari warga Kabupaten Bengkulu Utara yang berdomisili di wilayah tersebut dikarenakan semua pelayanan kependudukan ataupun hak-hak pelayanan dasar lainnya seperti pendidikan maupun kesehatan berjalan dengan baik dan lancar,” terang Rahmat. 

Pelayanan Pertanahan

Kanwil ATR/BPN Provinsi Bengkulu yang diwakili oleh Sugiarto menjelaskan, data administrasi pertanahan yang berada di Kantor Pertanahan Kabupaten Bengkulu Utara maupun di Kantor Pertanahan Kabupaten Lebong, tidak terdapat wilayah yang bernama Kecamatan Padang Bano berikut desa-desa di dalam wilayah kecamatan tersebut sebagaimana dimaksud dalam obyek permasalahan pada Permohonan perkara a quo.

Ia menjelaskan, titik kartometrik sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2015 tentang Batas Daerah Kabupaten Bengkulu Utara dengan Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu adalah koordinat yang menjadi dasar penetapan batas di lapangan yang dilakukan oleh Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkulu Utara maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong. 

“Hingga saat ini pelayanan pertanahan baik pendaftaran pertama kali maupun pemeliharaan data khusus di wilayah yang menjadi obyek permasalahan pada Permohonan perkara a quo yaitu Kecamatan Padang Bano tetap dilaksanakan dengan persyaratan yang menyangkut identitas pemohon/subyek hak sesuai domisili obyek yang menjadi wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dengan sebutan wilayah antara lain Kecamatan Giri Mulya dengan wilayah Desa Rena Jaya; Kecamatan Napal Putih dengan wilayah Desa Tanjung Kemenyan; dan Kecamatan Pinang Raya dengan wilayah Desa Air Sebayur,” tegasnya.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 71/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Bupati Lebong Kopli Ansori dan Ketua DPRD Kabupaten Lebong Carles Ronsen yang mengatasnamakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong. Pada Sidang Pendahuluan yang digelar Selasa (25/7/2023) lalu.

Pemohon mengaku dirugikan atas berlakunya Ketentuan Pasal 1 angka 10 beserta Penjelasan dari Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara. Menurut Pemohon, Ketentuan itu telah menyebabkan Pemohon kehilangan wilayah Kecamatan Padang Bano untuk seluruhnya, beserta sebagian wilayah 18 Desa yang tersebar di 6 Kecamatan lainnya.

Pemohon mengaku dapat membuktikan wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya itu adalah bagian wilayah Pemohon dengan dasar Undang-Undang Pembentukan Pemohon. 

Pemohon menyebutkan, masyarakat yang berada di wilayah Kecamatan Padang Bano dan sebagian wilayah 18 Desa yang berada di 6 Kecamatan lainnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilihan Anggota DPR RI, DPD RI, serta DPRD di tahun 2009 dan 2014 merupakan pemilih yang masuk Daerah Pemilihan Kabupaten Lebong dan bukan masuk ke Daerah Pemilihan Kabupaten Bengkulu Utara.