Padi Alami Ala Pak Sugito

RMOL. Sebagian besar masyarakat Pengolahan tanaman padi sejak dahulu kala sudah dilakukan oleh nenek moyang kita hingga saat ini. Dalam perjalanannya, proses pengolahan produktifitas lahan maupun produk dari tanaman banyak sekali mengalami perubahan, mengikuti alur perkembangan teknologi. Misalkan dengan alat-alat bantu mekanisasi pertanian berupa motor bakar dan teknologi pendukung lainnya. Semua teknologi ini di buat dengan tujuan memudahkan para petani dalam proses pengolahan padi maupun penanganan pasca panen.


RMOL. Sebagian besar masyarakat Pengolahan tanaman padi sejak dahulu kala sudah dilakukan oleh nenek moyang kita hingga saat ini. Dalam perjalanannya, proses pengolahan produktifitas lahan maupun produk dari tanaman banyak sekali mengalami perubahan, mengikuti alur perkembangan teknologi. Misalkan dengan alat-alat bantu mekanisasi pertanian berupa motor bakar dan teknologi pendukung lainnya. Semua teknologi ini di buat dengan tujuan memudahkan para petani dalam proses pengolahan padi maupun penanganan pasca panen.

Namun, berbeda dengan pak Sugito (78) Warga Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis Kabupaten Lebong, sehari-harinya bekerja beliau sebagai petani serba alami, misalkan dari proses mengcangkul, hingga tanpa menggunakan bahan kimia.

Pengolahan pertanian tradisional dikenal secara umum merupakan pengolahan yang dilakukan secara sederhana tanpa adanya bantuan peralatan modern. Guna memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari warga Sungai Lisai, Sugito tetap tekun pada pertanian nonkimia.

Bahkan Sugito akrab disapa Sugi, yang menerima RMOL Bengkulu di kediaman rumahnya pekan lalu (14/10/2016), ia mewujudkan kemerdekaan petani dengan cara serba alami di Desa Sungai Lisai Kecamatan Pinang Belapis Kabupaten Lebong. Rumahnya sederhana, ruang tamunya ditemani beberapa karung padi yang diisi dengan beberapa biji padi yang masih menempel pada batang padi menjadi fokus pertama saat kita bertamu.

"Padi ini kami kosumsi untuk desa kami ini saja," terang Sugi.

Diceritakan Sugi, dengan kondisi desa yang terperosok di tengah-tengah wilayah TNKS dan Hutan Lindung ini mengharuskan dirinya memulai pengolahan sawah secara manual. Memulai dari persiapan lahan dan melakukan pembenihan, dirinya baru bisa memulai proses tanam hingga memakan waktu selama 1,5 bulan, berbeda 14 hari dari petani-petani di Lebong pada umumnya. Sedangkan untuk masa tanam, Sugi masih melakukan masa tanam sekali selama satu tahun.

"Jadi, proses pengolahan lahan hingga penebaran benih kita lakukan secara bersamaan, makanya penggarapan sawahnya lebih banyak memakan waktu," jelas Sugito.

Bertahun-tahun sebelumnya, Sugi sempat tak yakin saat memulai bertanam secara alami di tanah miliknya seluas 1.000 meter persegi. Ia menggendong pupuk kandang dari rumah ke sawah yang jaraknya mencapai 1,5 jam dengan mengairi sawahnya dari sumber mata air di daerah pegunungan. Ternyata dari total benih padi 1 kaleng, ia berhasil menghasilkan padi sebanyak 27 karung.

Termasuk, hanya bermodal menggunakan alat tuai atau sejenih alat pemotong padi, lahan sawah miliknya tersebut bisa di panen dengan waktu tegat selama 4 bulan dari mulai proses tanam hingga padi siap di panen. Selanjutnya padi di gilas dengan kaki atau dirick guna memisahkan padi dengan batangnya yang nantinya akan dijadikan beras.

"Jadi, dari proses persiapan lahan, penebaran benih hingga panen. Sawah kita garap selama 6 bulan tanpa ada bantuan-bantuan bahan kimia seperti pemupukan ataupun sebagainya," lanjut Sugi.

Padi itu kemudian dikembangbiakkan, menjadi varietas lokal baru. Tak hanya mengumpulkan benih untuk dilakukan penggarapan secara kontinyu.

Sugi juga menambahkan, jika minimnya predator hama tanaman padi di sawah miliknya. Padi ini juga kemudian di olah juga menjadi beras dengan cara tradisional. Dengan meletakkan padi di sebuah kayu berbentuk lingkaran dan di getuk, padi ini dijualnya di Desa setempat dengan harga Rp 5.000 perkilo.

“Panen sejumlah itu memang lebih sedikit dibanding dengan memakai pupuk kimia. Tapi saya kan tidak mengeluarkan uang beli pupuk dan pestisida. Saya lebih senang dikatakan pertanian alami, karena kalau organik itu kaitannya dengan label,” demikian Sugi. [A11]