Kejayaan Islam di Masa Lalu dan Muslim Terakhir di Cordoba

Pemandu wisata Ahmed (syal kiri) menjelaskan pohon zaitun terakhir di halaman Katedral-Masjid Cordoba kepada Dubes RI Muhammad Najib/RMOL
Pemandu wisata Ahmed (syal kiri) menjelaskan pohon zaitun terakhir di halaman Katedral-Masjid Cordoba kepada Dubes RI Muhammad Najib/RMOL

ZAITUN, atau olive. Nama Latinnya Olea europaea. Sepintas, pohon zaitun yang akan saya ceritakan ini tampak seperti pohon zaitun biasa yang dengan mudah ditemukan di Andalusia, di selatan Spanyol.

Di masa yang silam kata Andalusia merujuk seluruh Semenanjung Iberia, sayap kiri Eropa yang berada persis di seberang utara Afrika.

Kini, Andalusia merupakan salah satu Autonomous Community di Kerajaan Spanyol. Ada delapan provinsi di Komunitas Otonom ini, yakni Almeria, Cadiz, Cordoba, Granada, Huelva, Jaen, Malaga, dan Seville yang sekaligus ibukota Andalusia.

Minyak zaitun yang merupakan salah satu komoditas dan sumber pendapatan utama Kerajaan Spanyol terkonsentrasi di Andalusia. Negro oro. Emas hitam. Itu gelar yang diberikan untuknya.

Menurut catatan Dewan Zaitun Internasional dari total produksi zaitun dunia di tahun 2019-2020 sebesar 3,2 juta ton, Spanyol menyumbang sebesar 1,12 ton.

Di tempat kedua Portugis (336 ribu ton), disusul Tunisia (350 ribu ton) di tempat ketiga, dan seterusnya Yunani (275 ribu ton), Turki (225 ribu ton), Maroko (145 ribu ton), dan Italia (140 ribu ton).

Dalam perjalanan ke Cordoba dan Granada kemarin, sejak melewati La Mancha sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan kebun zaitun.

Di Guarroman, Provinsi Jaen, kami sempat berhenti sebentar di sebuah fasilitas pemrosesan zaitun.

Pabrik ini memproduksi minyak zaitun dan derivasinya dengan merek Almazara Saturnino Arias.

Seorang petugas wanita menyambut dan membawa kami berkeliling pabrik. Dari tempat pengumpulan buah zaitun, ke instalasi pemerasan, sampai sebuah ruang "harta karun" yang berisi beberapa ton raksasa yang menampung minyak zaitun murni.

Adapun pohon zaitun di halaman Katedral-Masjid Cordoba ini istimewa. Ia tampak jauh lebih tua. Batangnya jauh lebih besar. Daunnya tak rimbun lagi.

Berada di dekat kolam tak jauh dari menara yang bagian bawahnya merupakan gerbang utama, pohon zaitun tua ini dilindungi pagar besi yang mengelilingi.

"Usianya hampir 800 tahun," ujar Ahmed, guide yang mendampingi kami dalam perjalanan ke Andalusia.

"Ini adalah Muslim terakhir di Cordoba. Setiap kali ke sini, saya selalu mengucapkan salam untuknya," cerita Ahmed lagi.

Demi mendengar penjelasan terakhir itu, saya mengucapkan salam: Assalamualaikum.

"Sebelum pohon zaitun ini benar-benar mati, beberapa tahun lalu mereka menanam anaknya," Ahmed menunjuk satu batang pohon zaitun yang masih kurus, sudah cukup tinggi namun tampak jauh lebih muda, di dalam pagar yang sama.

Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Spanyol, Muhammad Najib, yang ikut memandu kunjungan kami ke Cordoba memberikan penjelasan tambahan.

Katanya, istilah Muslim terakhir di Cordoba untuk menjelaskan bahwa Islam tak benar-benar hilang dari Cordoba setelah direbut penguasa Castile, Raja Ferdinand III, tahun 1236.

Najib bukan dutabesar biasa. Ia pernah bertugas sebagai anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN), dan penulis novel yang cukup produktif.

Sejak memulai tugas di Spanyol bulan November tahun lalu, Dubes Najib telah menyelesaikan dua novel tentang perkembangan dan kehancuran peradaban Islam di Spanyol. Pertama "Di Beranda Istana Alhambra" dan kedua "Andalusia: Jembatan antara Timur dan Barat".

"Ini bahasa kias. Masjid Cordoba adalah bukti penting tentang kebesaran Islam di masa lalu. Sekaligus bukti kegagalan yang diakibatkan oleh nafsu berkuasa dan konflik berkepanjangan di antara kelompok-kelompok kepentingan yang orientasinya sempit," ujarnya.

"Kita perlu pelajari ini agar tidak mengulangi kesalahan yang sama," demikian Dubes.