Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya angkat bicara, pasca diputus melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK).
- Pemprov Keluarkan Kebijakan Strategis Penyaluran KUR di Bengkulu
- Mudik Lebaran, 19 Gunung Berapi Berstatus Waspada
- Banyak Temui Konflik, Mendagri Minta Kepala Daerah Dan Wakil Bisa Rukun
Baca Juga
Hal tersebut disampaikan Anwar Usman dalam jumpa pers, di Kantor MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (8/11).
"Saat ini, harkat, derajat, martabat saya sebagai hakim karir selama hampir 40 tahun, dilumatkan oleh fitnah yang keji," ujar dia dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL.
Dia mengklaim dipolitisasi dalam hal memutus perkara 90/PUU-XXI/2023, yang isinya menambahkan syarat batas usia minimum capres-cawapres.
"Sesungguhnya, saya mengetahui dan telah mendapatkan kabar upaya untuk melakukan politisasi dan menjadikan saya sebagai objek, dalam berbagai Putusan MK dan Putusan MK terakhir (perkara 90/PUU-XXI/2023), maupun tentang rencana Pembentukan MKMK," keluhnya.
Anwar yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo itu membantah, dirinya diintervensi oleh pihak luar dalam memutus perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Jika hal itu saya lakukan, maka sama halnya, saya menghukum diri sendiri, karena tidak sesuai dengan keyakinan saya sebagai hakim dalam memutus perkara," katanya.
Lebih lanjut, Anwar mengaku pasrah dengan wacana yang berkembang saat ini, yang menurutnya terkesan menyudutkan dirinya telah bersekongkol memuluskan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.
"Meski saya sudah mendengar ada skenario yang berupaya untuk membunuh karakter saya, tetapi saya tetap berbaik sangka, berhusnudzon, karena memang sudah seharusnya begitulah cara dan karakter seorang muslim berpikir," pungkasnya.
- A Dozen Years Of Happiness, Hotel Santika Rayakan HUT ke 12 Dengan Tanggung Jawab Sosial
- Lantik 18 Pejabat Administrasi, Ini Pesan Kakanwil Kemenkumham Bengkulu
- BPK Didesak Audit Ulang Dana Realisasi Wajib PCR